Playlist Terakhir Sebelum Kita Putus: pertemuan dan perpisahan dalam nada
Sejak awal, hubungan kami selalu diukur dari durasi lagu. Ada masa ketika tiga menit dua puluh detik terasa seperti selamanya, ada juga saat lima menit terasa kekecilan untuk menampung semua yang ingin kuucapkan.
Namaku Nayla. Semester lima, kopi sachet, kelas pagi, dan kebiasaan aneh: bikin playlist buat Dava, cowok dengan hoodie yang selalu bau bensin komunitas motornya. Dulu dia suka nyeletuk, “Kalau cinta bisa disave, kamu pasti bikin jadi playlist, ya?” Aku ketawa. Hari ini, aku ngetik judul playlist baru sambil menahan napas: “Kalau Kamu Dengerin, Kamu Paham.”
Bukan playlist perayaan. Ini semacam surat putus yang bernada, bertempo, bersuara.
Aku mulai dari yang ringan, lagu-lagu yang dulu kami tukar pas awal PDKT. Lalu pelan-pelan nada turun, bukan supaya sedih, tapi supaya jujur. Aku pengen Dava ngerti apa yang nggak sanggup kuucapkan tanpa pecah.
Jam di kamar kos menunjuk 23.14. Lampu neon berdengung, kipas berdecit, notifikasi WhatsApp sepi. Dava terakhir balas “OTW” tiga jam lalu, mungkin OTW dari hangout bareng anak komunitasnya. Mungkin juga OTW melupakan aku.
Kukurasi urutan lagu dengan teliti, kayak nulis paragraf yang harus selesai dalam sekali nafas. Di sela itu, aku buka artikel-artikel lirik buat ngerti betul makna yang ingin kusisipkan. Aku klik satu tautan yang dulu kubookmark: Makna Lirik Lagu
Shine On Me - ENHYPEN. Ada kalimat yang menenangkan, seolah bilang bahkan ketika gelap, ada yang masih bersinar. Aku selipkan lagu yang serasa menepuk pundak sendiri, bukan untuk Dava, tapi untuk Nayla yang harus kuat.
Di urutan tengah, kusempilkan lagu yang rasanya kayak tarik napas dalam, kecil, jujur, dan apa adanya. Kubaca lagi catatan lama tentang satu nomor kesayanganku,
fine today - Ardhito Pramono. Ada rasa “aku baik-baik saja” yang terdengar rapuh, kayak orang yang bilang nggak apa-apa padahal retak. Cocok untuk transisi, dari kita yang dulu, ke aku yang sekarang.
Terakhir, aku butuh lagu yang menutup pintu dengan sopan. Bukan banting, bukan juga dibiarkan terbuka. Pilihanku jatuh pada sesuatu yang pahit tapi indah. Saat liriknya mengalun di telinga, rasanya seperti memecat kenangan dengan pelukan terakhir, masih hangat, tapi harus berpisah.
Oceans & Engines - NIKI
Kuketik pesan ke Dava:
“Dengerin dari awal sampai akhir, ya. Please.”
Kukirim link playlist. Satu centang. Dua centang. Biru.
“Ok,” balasnya.
Tanpa emoji. Tanpa follow-up. Seperti tiket masuk konser yang sudah kadaluwarsa.
Besoknya aku bangun dengan mata bengkak dan tenggorokan kering. Di kaca kamar, wajahku terlihat seperti filter yang gagal kuaktifkan. Pagi itu, aku memutuskan untuk nggak nungguin chat. Kupaksa diriku jadi orang yang sibuk, cuci piring, ganti sprei, nyapu lantai kos yang udah lama minta perhatian. Playlist mengalun dari speaker kecil, lagu pertama kami dulu. Aku senyum. Lalu sedih. Lalu senyum lagi.
Siang, Dava mengirim voice note. Delapan detik.
“Dengerin, Ya. Malam ini aku kirim sesuatu.”
Sesuatu. Kata yang bisa berarti apa pun, maaf, alasan, atau salam perpisahan. Aku menaruh ponsel menghadap ke bawah, mencoba pura-pura lupa. Di luar, matahari surut. Di dalam, napasku pendek-pendek.
Malam datang seperti tabir. Di atas meja, ponsel bergetar pelan. Satu link playlist masuk: “Kalau Kamu Mau, Kita Mulai Lagi.”
Jantungku protes. Tanganku kaku. Kuputar lagu pertama. Itu lagu yang dulu kami temukan bareng di coffee shop kecil, ketika barista memutarnya tanpa tahu bahwa dua orang di pojok ruangan akan jatuh cinta karenanya. Lagu kedua, suara gitar yang mengantarkan kami pulang saat hujan deras. Lagu ketiga, nomor yang dia request di radio online, menyebutkan namaku dengan ejaan benar, sesuatu yang selalu ia banggakan.
Di deskripsi playlist, Dava menulis:
“Maaf. Aku nggak peka. Aku lupa kamu manusia yang sesekali minta ditanya ‘udah makan belum’ bukan cuma ‘kapan main’. Aku lupa kamu suka diantar pulang, bukan ditinggal bilang ‘OTW’ berkali-kali. Aku lupa kamu nggak butuh motor kencang, kamu cuma perlu aku pelan-pelan.”
Kudengar sampai habis. Lalu kuputar lagi. Sampai suaraku ikut menyanyi tanpa sadar, sampai aku lupa kapan persisnya air mataku jatuh. Di sela-sela lagu terakhir, ada jeda, hening yang terasa seperti titik di akhir kalimat, bukan koma. Kumasukkan ponsel ke saku hoodie, turun ke depan kos. Angin malam tipis, lampu-lampu toko masih menyala.
Chat masuk:
“Aku di depan.”
Dava berdiri di bawah lampu neon, yang anehnya membuat matanya terlihat jujur. Ia menggaruk kepala, kebiasaannya kalau grogi.
“Nay, maaf. Aku nggak punya alasan yang keren. Aku cuma… terlalu banyak hal yang kubawa kenceng, dan kamu kepinggir. Aku mau benerin.”
“Kamu dengerin playlistku?” tanyaku.
“Dengerin,” jawabnya. “Aku pingin kamu dengerin punyaku, tapi… lebih pingin kamu denger suaraku.”
Kami duduk di bangku trotoar, menyepak kenangan seperti kerikil. Ia bercerita tentang capeknya, tentang betapa bodohnya dia pikir aku akan selalu nunggu. Aku bercerita tentang malam-malam jam dua yang terasa panjang, tentang pesan “ok” yang nyeremin, tentang suara motor yang pulang lebih malam dari janjinya.
“Aku bisa pelan,” katanya. “Kalau kamu mau.”
Kalimat itu menggantung seperti lampu yang mengayun tertiup angin. Di kepalaku, playlist kami maju-mundur, memutar ulang bait-bait yang kuminta jadi tanda baca. Aku menatap wajahnya, ada mujur yang dulu kusuka, tapi juga ada lelah yang tak mau beranjak.
“Dav,” kataku pelan, “kamu tau nggak kenapa aku milih lagu-lagu itu?”
“Biar aku ngerti tanpa kamu mesti marah,” ia menebak.
Aku menggeleng. “Biar aku juga ngerti. Kalau aku bisa berdiri tanpa kamu peganganin. Kalau aku bisa nyanyi sendiri, bukan cuma jadi paduan suara.”
Ia menunduk. “Terus… jawabanmu apa?”
Aku menarik napas, mencium bau bensin di hoodie-nya, mengingat semua detik yang dulu terasa selamanya. Lalu kurasakan diriku hari ini, yang sudah menyalakan lampu sendiri, membuka jendela sendiri, membuat teh sendiri, dan, ya, membuat playlist sendiri.
“Playlistmu bagus,” kataku, jujur. “Tapi mungkin kita butuh bikin playlist yang berbeda. Kamu di jalan yang kamu suka. Aku di jalan yang kubutuh.”
Wajahnya retak sedikit, seperti cermin yang kena batu kecil. Tapi dia mengangguk. “Kalau itu bikin kamu… fine today?”
Aku nyengir kecil, referensi yang tidak sengaja tepat sasaran. “Aku bakal baik-baik saja. Mungkin nggak sekarang. Tapi aku pingin belajar.”
Kami tertawa pelan. Bukan tawa yang menutup luka, tapi tawa yang mengakui luka ada. Dava berdiri, menepuk bangku, lalu mengulurkan tangan. “Boleh pelukan terakhir?”
Kupikir, pelukan terakhir itu bukan tentang selamat tinggal, lebih pada membungkus rapi sesuatu yang sudah kita usahakan bersama. Kami berpelukan sebentar, lalu melepaskan. Di matanya, tidak ada janji, hanya restu.
“Sampai ketemu di jalan yang lain,” katanya.
“Jaga pelan-pelan,” jawabku.
Ia menyalakan motor, kali ini tak sekencang biasanya. Aku menunggu sampai suaranya hilang di tikungan. Setelah itu, aku menatap langit malam yang kosong tapi terasa luas. Ponselku bergetar, notifikasi dari aplikasiku sendiri. “Orang-orang sedang mendengarkan playlist kamu.”
Kutulis deskripsi baru:
“Bukan tentang putus. Tentang memilih suara sendiri.”
Kumasukkan tiga lagu pertama yang kulakukan bukan untuk siapa-siapa selain aku. Satu untuk menyala ketika gelap. Satu untuk berkata “aku baik-baik saja” tanpa pura-pura. Satu untuk menutup pintu dengan sopan.
Kutekan tombol simpan.
Judul: “Kalau Kamu Dengerin, Kamu Paham (Versi Aku).”
Kupandangi layar ponsel lama-lama, jari-jariku berhenti tepat di atas ikon hapus playlist lama. Lampu kos mati sebentar, lalu menyala lagi. Di luar, suara motor mendekat.