Ketika Cinta Terukur Data - Algoritma Hati
Namaku Karin, dan kalau ditanya apa yang paling mendefinisikan diriku, jawabannya adalah data. Aku seorang desainer grafis yang hidup di antara angka dan pola. Bagiku, hidup adalah serangkaian data yang bisa dianalisis, dan itu termasuk cinta. Aku punya spreadsheet rahasia di Google Sheets, tempat aku mencatat skor kecocokan setiap profil yang muncul di aplikasi kencan. Hobi? Musik? Pilihan film? Semua masuk dalam rumus. Kalau skornya di atas 80%, baru aku swipe right. Selebihnya, bye. Ini bukan cuma tentang efisiensi, tapi juga tentang kontrol. Aku enggak mau menyerahkan takdir hatiku pada hal-hal serandom "pertemuan yang enggak sengaja." Lagipula, aku sudah pernah mengalami betapa menyakitkannya "pertemuan yang enggak sengaja" itu.
Suatu hari, manajerku memberikan proyek gila. Kami harus berkolaborasi dengan seorang podcaster untuk membuat kampanye digital bertema "Cinta di Era Digital: Mitos atau Fakta?". Pas aku cek portofolionya, namanya Arga. Cowok ini enggak punya Instagram, enggak punya TikTok. Satu-satunya jejak digitalnya adalah podcast-nya yang berjudul Takdir Bicara. Sial, dari judulnya saja sudah bikin aku alergi. Ini jelas-jelas kebalikan dari semua yang aku yakini.
Pertemuan pertama kami diadakan di kafe favoritku. Aku datang dengan laptop dan tablet, siap dengan presentasi data dari survei yang kulakukan. Aku sudah menghabiskan tiga malam mengumpulkan data dari 500 responden tentang pola kencan online. Arga datang hanya dengan buku catatan usang dan sebuah pena. Jelas-jelas dia bukan tipeku. Skor kecocokannya? Nol besar.
"Jadi, Karin," dia memulai, suaranya hangat, "kita mau bikin kampanye yang bisa nyentuh hati orang. Gimana kalau kita bahas kisah-kisah nyata aja, yang enggak bisa dijelasin pakai data?"
Aku hampir tersedak kopi. "Arga, kita di agensi digital. Semua yang kita buat harus terukur. Cinta itu bukan mitos, tapi serangkaian pola yang bisa diidentifikasi. Kita bisa lihat dari frekuensi chat, durasi kencan, sampai kesamaan minat. Semua itu ada datanya." Aku membuka laptop dan menunjukkan grafik-grafikku.
Arga cuma tersenyum. Senyumnya ramah, tapi matanya seperti menertawakanku. "Tapi, Karin, pernah enggak kamu ngerasa, ada orang yang bikin kamu tertarik cuma karena dia suka lagu yang sama, padahal secara data, kalian enggak cocok sama sekali?"
Kami berdebat hebat. Aku mengeluarkan grafik dan diagram, dia mengeluarkan cerita dari pendengarnya. Ada kisah pasangan yang bertemu karena salah pesan kopi, ada yang kenal karena enggak sengaja duduk bersebelahan di kereta, dan banyak cerita lain yang menurutku hanya "kebetulan yang tidak relevan." Dia menyebutnya takdir. Aku menyebutnya randomness yang tidak efisien.
Pekerjaan jadi sulit. Arga sering mengajakku meeting di luar jam kerja, di kafe-kafe kecil yang enggak pernah terdaftar di Google Maps. Awalnya aku kesal, karena ini di luar rencana. Jadwalku jadi berantakan. Tapi lama-kelamaan, aku mulai terbiasa. Obrolan kami jadi lebih santai. Aku mulai cerita soal kegagalanku dengan seorang match yang skornya 95%, tapi ternyata dia gaslighting. Arga cerita soal mantannya yang dia temui di acara seni dan berakhir patah hati.
"Tuh kan, Karin," kata Arga suatu sore, "kamu aja yang ahli data, masih bisa kena zonk. Cinta itu enggak bisa diukur. Hati itu punya algoritmanya sendiri, yang kita enggak bisa tebak."
Aku diam. Kata-katanya bikin aku mikir. Tanpa sadar, aku mulai melihat Arga bukan cuma sebagai partner kerja yang menyebalkan, tapi sebagai seseorang yang lucu dan punya cara pandang yang menarik. Dia seringkali memutar lagu-lagu di playlist Spotify-nya saat kami bekerja, dan anehnya, hampir semua lagunya cocok dengan seleraku. Bukan cuma genre yang sama, tapi lagu-lagu yang jarang dan personal. Aku enggak bisa mengukurnya, tapi rasanya benar. "
Lampu Kuning - Juicy Luicy" mendadak jadi lagu yang sering aku putar di kepalaku, karena liriknya seolah menggambarkan perasaanku yang mulai ragu-ragu di persimpangan ini.
Baca juga: Cerpen Fiksi: PLANET HENING
Suatu malam, kami lembur. Kami sedang menggarap video kampanye terakhir. Di tengah keheningan, tiba-tiba listrik mati. Arga langsung menyalakan senter dari ponselnya. Dalam remang-remang cahaya itu, wajahnya terlihat berbeda. Lebih hangat, lebih manusiawi.
"Karin," katanya pelan, "kamu itu kayak bug di sebuah program. Seharusnya kita enggak nyambung, tapi entah kenapa, kita justru jadi lebih baik kalau lagi sama-sama."
Jantungku berdebar. "
The signs - Tash" mendadak terasa begitu nyata. Apakah ini petunjuk? Sesuatu yang enggak bisa aku analisis dengan data, tapi hatiku bisa merasakannya. Momen itu, di tengah kegelapan, terasa begitu nyata.
Keesokan harinya, proyek kami selesai. Kampanye "Algoritma Hati" sukses besar. Data menunjukkan bahwa video kami viral, podcast Arga melonjak traffic-nya, dan feedback dari audiens sangat positif. Manajerku memberikan bonus. Tapi aku merasa, bonus terbesar bukanlah uang, melainkan sesuatu yang baru aku temukan.
Sore itu, setelah semua pekerjaan selesai, Arga mengajakku makan. Dia enggak bilang mau makan di mana, cuma bilang, "Percaya aja sama aku, oke?"
Aku mengiyakan. Untuk pertama kalinya, aku membiarkan diriku mengikuti arus. Kami naik motor. Angin malam menerpa wajahku, dan rasanya ringan sekali.
Arga mengantarku pulang. Perjalanan singkat itu terasa seperti adegan di film romantis, tanpa dialog yang rumit, hanya suara motor dan angin malam. Saat sampai di depan gerbang rumah, aku melepas helm. Arga menatapku, matanya hangat.
"Jadi," katanya, suaranya pelan, "Kamu mau tetap pakai aplikasi itu atau...?"
Aku tahu dia merujuk pada spreadsheet dan segala algoritmaku. Aku tersenyum tipis. "Kurasa algoritmaku yang lama udah error."
Arga tertawa pelan. Tawanya renyah. "Gimana kalau kita bikin algoritma baru?"
"Algoritma apa?" tanyaku.
"Algoritma hati kita. Aku jadi datanya, kamu jadi analitiknya." Dia mengulurkan tangannya. "Satu data, satu analitik. Cukup."
Jantungku berdebar tak karuan. Itu adalah kalimat paling manis dan paling logis yang pernah aku dengar. Aku menyambut tangannya. Rasanya hangat dan pas sekali. Aku merasa seperti menemukan keyboard shortcut yang sempurna untuk hidupku.
Keesokan harinya, aku membuka laptop. Tentu saja, aku tidak menghapus spreadsheet itu. Aku hanya mengubah nama filenya: "Kecocokan Arga (100%)". Di dalamnya, aku mencatat hal-hal baru yang tidak pernah ada di data sebelumnya: "Suka tertawa renyah," "Selalu tahu kapan aku butuh kopi," "Matanya enggak bisa bohong." Di bawahnya, aku menulis kalimatku sendiri: "Algoritma cinta Arga: "
Standing Next to You - Jungkook", "The signs - Tash", dan "Lampu Kuning - Juicy Luicy"." Tiga lagu, tiga clue, dan satu kesimpulan: kami adalah takdir yang diciptakan, bukan ditemukan.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Arga.
"Mulai hari ini, kamu official partner aku. No data needed, just hati."
Aku tersenyum, merasakan pipiku memanas. Kali ini, algoritmaku tidak butuh data, karena jawabannya sudah pasti.