Aku masih ingat banget saat pertama kali mengenal Dio di kampus. Bukan pertemuan yang dramatis seperti di film, tapi entah kenapa, tatapan matanya langsung membuat dada berdebar. Dio punya cara bicara yang santai tapi tulus, membuat siapa pun merasa nyaman. Awalnya kita hanya sering saling sapa, tapi lama-lama pertemuan di kantin menjadi obrolan panjang di sore hari. Kita mulai hafal kebiasaan satu sama lain; aku yang selalu pesan es teh manis, Dio yang nggak pernah lepas dari hoodie putih kesayangannya.
Suatu sore, kita duduk di taman kampus. Langit mulai berwarna jingga, dan angin sore berhembus lembut. Aku menyalakan lagu di ponselku, Standing Next to You milik Jungkook. Aku tidak tahu kenapa memilih lagu itu, tapi liriknya yang bercerita tentang kesetiaan membuatku merasa cocok untuk momen itu. Dio hanya tersenyum sambil ikut mendengarkan.
"Kamu sering dengerin BTS?" tanya Dio penasaran, sambil sesekali melirik layar ponselku.
"Nggak sering banget, tapi lagu ini... entahlah, kayak pas aja buat suasana sekarang," jawab aku sambil menatap langit, bibirku melengkung tipis.
Dio memandang aku sejenak. "Kalau aku, aku nggak terlalu paham liriknya. Tapi kalau kamu yang suka, berarti ada alasannya."
Hari-hari berikutnya kita makin dekat. Chat setiap malam, telepon sampai ketiduran, bahkan saling kirim foto makanan yang kita makan. Kadang obrolan kita nggak penting sama sekali, tapi justru itu yang membuatnya berharga. Semua terasa ringan, sampai suatu hari aku melihat Dio bersama seorang cewek di kafe dekat kampus. Dio bilang itu cuma teman lama, tapi entah kenapa hati aku terasa nggak tenang. Ada rasa asing yang pelan-pelan merayap.
Esoknya, aku mencoba mengabaikan perasaan itu. Saat mengerjakan tugas di perpustakaan, aku iseng memutar lagu 3D dari Jungkook. Irama upbeat-nya mengingatkanku pada masa awal kami dekat, penuh rasa penasaran dan energi baru. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada sedikit jarak yang aku rasakan di antara kami. Tangannya enggan mengirim pesan seperti biasanya, takut jawaban Dio terdengar datar.
Dio menyadari perubahan itu. Malamnya ia mengirim pesan, “Besok sore kita ketemu, ya. Aku mau jelasin semuanya.” aku setuju, tapi dalam hatiku sudah menyiapkan berbagai kemungkinan. Aku membayangkan berbagai skenario, dari yang paling baik hingga yang paling buruk.
Di kafe langganan, Dio datang membawa dua gelas minuman favorit kami. Ia menatapku lama sebelum mulai bicara. “Tentang cewek kemarin, dia beneran cuma teman SMA. Dia lagi curhat soal keluarganya. Aku nggak bermaksud bikin kamu salah paham.”
Aku menghela napas panjang. “Aku percaya, tapi aku juga nggak mau ngerasa kayak gini lagi. Kayak... aku nggak cukup tahu kamu.”
Hening sejenak. Lalu Dio tersenyum kecil. “Oke, mulai sekarang aku bakal cerita lebih banyak. Termasuk hal-hal kecil sekalipun.”
Minggu-minggu berikutnya kita benar-benar mencoba lebih terbuka. Aku bercerita tentang masa lalunya yang penuh keraguan dalam hubungan. Dio menceritakan perjuangannya menyesuaikan diri di kota baru. Kita bahkan mulai punya “ritual” baru: setiap minggu berbagi satu lagu yang menurut kami mewakili perasaan masing-masing.
Suatu malam, giliran Dio mengirim lagu. “Dengerin ini,” tulisnya, menyertakan tautan ke August milik Taylor Swift. Aku mendengarkan sambil tiduran di kamar. Liriknya yang penuh kerinduan membuatnya terdiam lama. Aku merasa Dio sedang mencoba menyampaikan sesuatu yang nggak bisa diucapkan langsung. Dadanya terasa sesak, tapi hangat.
Keesokan harinya, kami kembali bertemu di taman kampus. Aku menatap Dio. “Kenapa kirim lagu itu?”
Dio mengangkat bahu. “Kadang aku takut waktu kita terbatas. Lagu itu bikin aku inget buat nggak nyia-nyiain momen sama kamu.”
Jawaban itu membuat aku tersenyum, tapi juga membuat hatiku sedikit bergetar. Aku mulai menyadari bahwa hubungan itu bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga soal rasa takut kehilangan yang membuat seseorang berusaha lebih keras.
Musim hujan datang. Suatu sore, hujan turun deras saat kami sedang berjalan pulang dari kampus. Kami berteduh di bawah atap halte. Aku menatap hujan yang jatuh di jalanan, lalu menoleh ke Dio. “Kalau suatu hari kita nggak lagi bareng, kira-kira kamu bakal nyesel nggak?”
Dio terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Aku bakal nyesel banget. Makanya aku mau pastiin itu nggak pernah terjadi.”
Aku tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalaku di bahu Dio. Hujan terus turun, tapi di dalam hati kita, ada rasa hangat yang tumbuh pelan-pelan. Kami tahu hubungan ini nggak akan selalu mulus, tapi kami juga tahu bahwa kami mau mencoba, lagi dan lagi.
Di perjalanan pulang malam itu, aku memutar lagi Standing Next to You. Kali ini, aku benar-benar memahami makna di balik liriknya. Bukan hanya tentang berdiri di samping seseorang secara fisik, tapi juga tentang memilih untuk tetap ada meski banyak hal yang bisa memisahkan.
Beberapa minggu kemudian, kami ikut lomba video kreatif kampus. Tema lomba itu adalah “Cerita dari Lagu Favoritmu.” Tanpa banyak debat, kami memilih lagu-lagu yang pernah kita kirim satu sama lain. Proses syuting membuat kami lebih sering menghabiskan waktu bersama, bahkan di luar kampus. Ada tawa saat kami gagal take berkali-kali, ada momen hening saat kami membicarakan masa depan.
Di akhir lomba, kami duduk di bawah pohon besar di taman, menunggu hasil pengumuman secara online. Aku menatap layar ponselnya lalu berkata, “Kita nggak menang, tapi aku seneng banget ikut lomba ini sama kamu.”
Dio menatapnya sambil tersenyum. “Aku juga. Menang atau kalah nggak terlalu penting. Yang penting, kita bikin cerita yang cuma punya kita berdua.”
Sejak saat itu, aku dan Dio punya satu folder khusus di ponsel kita berisi semua foto, video, dan lagu yang pernah kita bagi. Setiap kali salah satu dari kita lelah atau ragu, kita akan membuka folder itu. Dan di sanalah, semua kenangan kembali hidup.
Cinta kami mungkin sederhana, tapi setiap lagu yang kami bagi, setiap momen yang kami lewati, membuatnya terasa istimewa. Dan di hatiku, aku yakin selama kita terus mau saling memahami, kita akan selalu punya satu sama lain.
Baca Juga:
Cerpen Horror Misteri: Residensi