Langkah yang Tak Pernah Sendiri - Residensi
Aku berdiri di tepi jendela, menatap pekarangan yang mulai tertelan kabut. Pohon-pohon tua di halaman bergoyang pelan, rantingnya menggaruk udara seolah berusaha mencapai kaca tempatku berdiri. Angin membawa aroma lembap tanah dan dedaunan basah, menyusup ke pori-pori dan membuat kulitku dingin. Rumah ini selalu terasa seperti menyimpan napasnya sendiri, seakan menunggu sesuatu yang tak pernah mau muncul di siang hari. Ada kesunyian yang begitu tebal di udara, sampai-sampai setiap helaan nafasku terdengar seperti gangguan bagi rumah ini.
Sudah beberapa malam ini aku mendengar langkah kaki yang tak pernah terlihat pemiliknya. Pelan, seperti ragu, namun tak pernah berhenti mendekat. Awalnya kukira itu suara tikus atau ranting yang jatuh. Tapi lama-kelamaan aku mulai bisa membedakan. Langkah itu terlalu berat untuk seekor tikus, terlalu teratur untuk sekadar hembusan angin. Kadang langkah itu berhenti tepat di depan pintuku, lalu senyap dalam waktu yang terasa sangat lama, seolah ada seseorang yang berdiri di sana, mendengarkan nafasku.
Hari ini, rumah ini terasa berbeda. Sejak pagi, ada suara-suara samar dari lantai bawah. Terdengar tawa pelan, suara sendok beradu dengan piring, bisik-bisik yang menghilang begitu aku turun tangga. Setiap aku mencoba mendekat, udara sekitarku terasa lebih tebal, langkahku melambat, dan rasanya seperti menembus lapisan udara yang tak terlihat. Kadang aku bahkan merasa ada tatapan dari sudut-sudut gelap ruangan, tatapan yang terlalu lama untuk dianggap kebetulan. Setiap kali aku menoleh, tak ada siapa pun, tapi rasa itu selalu tertinggal menempel di kulit seperti hawa lembap yang tak bisa dihapus.
Siang tadi, dari celah pintu ruang makan, aku melihat sebuah keluarga. Seorang pria, seorang perempuan, dan seorang anak laki-laki. Mereka duduk mengitari meja makan, membicarakan sesuatu sambil sesekali menoleh ke arah sekeliling, seperti sedang mencari seseorang. Aku tak pernah melihat mereka masuk rumah ini, dan aku yakin tidak pernah mengundang siapa pun. Saat aku mencoba memanggil, suaraku tak keluar. Saat aku melangkah masuk, kursi-kursi itu kosong, piringnya bersih, dan tidak ada tanda kehidupan di ruangan itu. Hanya bau samar kayu tua bercampur wangi masakan yang entah dari mana asalnya.
Namun, malam ini suara mereka kembali terdengar. Lebih jelas, lebih dekat. Tawa kecil si anak menggema dari ujung koridor. Aku mengikuti suara itu, melewati deretan lukisan keluarga yang pernah tinggal di rumah ini entah berapa puluh tahun lalu. Dalam keremangan, wajah-wajah di lukisan itu seperti mengikutiku, matanya berkilat redup seolah hidup. Bayangan di belakang mereka tampak bergerak-gerak, seakan lukisan itu adalah jendela yang mengintip ke dunia lain.
Koridor itu berakhir di sebuah pintu tua. Aku tahu pintu itu selalu terkunci, namun kini sedikit terbuka. Cahaya redup mengalir keluar dari celahnya, dan di dalamnya aku melihat mereka lagi. Keluarga itu. Kali ini mereka tidak berbicara. Mereka hanya duduk memandang ke arahku. Matanya penuh kehati-hatian, seperti sedang melihat sesuatu yang tidak mereka mengerti.
Aku merasa bulu kudukku berdiri. Entah kenapa aku pun takut. Takut pada mereka, takut pada tatapan itu, tapi juga takut jika aku pergi mereka akan menghilang lagi. Dalam hening yang mencekik, aku melangkah masuk. Lantai berderit di bawah kakiku, dan tiba-tiba si anak berlari ke arah ibunya, memeluk erat sambil berbisik, “Dia di sini.”
Tubuhku membeku. Si ibu menatapku, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, namun hanya udara dingin yang keluar dari mulutnya. Si ayah berdiri, mencoba maju, tapi gerakannya terhenti seolah ada jarak tak kasat mata yang memisahkan kami. Mata mereka memandangku dengan campuran rasa iba dan kesedihan yang dalam.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Ingatan-ingatan berkelebat begitu cepat. Sebuah malam yang penuh hujan, suara teriakan memecah keheningan, gelas pecah di lantai, dan wajah seorang pria yang dulu kukenal begitu baik. Ada rasa sakit yang menusuk di kepalaku, lalu gelap. Semua itu datang tanpa peringatan, begitu tajam, lalu menghilang seperti mimpi buruk yang tak utuh. Dalam gelap itu, aku seperti melihat diriku sendiri basah kuyup, berdiri di luar rumah, mengetuk-ngetuk pintu yang tak pernah dibuka.
Ketika kesadaranku kembali, ruangan itu kosong. Hanya meja tua berdebu, kursi reyot, dan tirai lusuh yang berayun pelan. Namun di sudut ruangan ada sebuah foto keluarga. Wajah mereka sama seperti yang kulihat hari ini. Senyum mereka di foto terasa tegang, matanya seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah terucap. Bingkai foto itu tampak baru, kilau kacanya memantulkan cahaya redup dari lampu gantung yang nyaris padam.
Aku mencoba menyentuh bingkai itu, tetapi jemariku tidak pernah benar-benar merasakan permukaannya. Seolah ada lapisan tipis yang menahan, membatasi dunia kami. Saat kuturunkan bingkai itu, mataku terarah ke jendela. Di luar, keluarga itu berdiri di halaman. Kabut menggulung di sekitar kaki mereka. Si anak melambaikan tangan pelan dengan senyum yang sulit kuartikan, lalu sosok mereka memudar bersama kabut yang menelan seluruh halaman.
Kabut itu terus merayap masuk melalui celah pintu dan jendela, menyelimuti setiap sudut ruangan. Udara yang sebelumnya dingin kini perlahan menjadi ringan. Ada rasa lega yang merembes dari dalam dadaku, seolah beban yang selama ini menahanku mulai terangkat. Langkah-langkah tak kasat mata yang selama ini mengikuti kini terdengar semakin jauh. Bisik-bisik samar itu memudar, berganti dengan keheningan yang damai.
Aku berjalan menyusuri koridor kembali, melewati lukisan-lukisan itu lagi. Kali ini tatapan mereka tidak lagi mengikutiku, hanya kosong seperti potret tua yang sudah kehilangan cerita. Namun, setiap langkah terasa membawa aku menjauh dari sesuatu yang selama ini menahanku di sini. Setiap suara lantai berderit kini terdengar seperti perpisahan kecil.
Di ruang tengah, jam tua di dinding berdetak pelan. Suaranya begitu nyata, seperti penanda bahwa waktu mulai kembali berjalan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mendengarnya berdetak. Lampu gantung di atas kepalaku bergoyang ringan, menebarkan cahaya kekuningan yang menenangkan. Di meja, secangkir teh tergeletak, uapnya masih mengepul tipis. Aku tidak ingat membuatnya. Aroma tehnya manis, menenangkan, seperti undangan untuk tinggal lebih lama, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang tahu aku harus pergi.
Aku duduk di kursi, menatap uap itu hingga perlahan menghilang. Dari sudut mata, aku melihat pintu depan yang biasanya terkunci kini sedikit terbuka. Udara malam menyusup masuk. Langkahku terhenti di ambang pintu. Di luar, kabut masih bergulung, namun kini seperti membentuk jalan setapak yang memanjang jauh ke depan. Di ujung jalan itu, sebuah cahaya hangat menunggu.
Aku melangkah ke arahnya