Mata yang Mengikuti - Rumah Boneka
Rumah itu berdiri di atas bukit, mengintip ke arah kota dari balik rimbunan pohon pinus tua. Arsitekturnya bergaya Victoria yang megah, dengan dinding bata merah yang sudah memudar dan jendela-jendela tinggi yang tampak seperti mata yang menatap kosong. Aku membelinya dari sebuah lelang online, bukan karena keindahan luarnya, tapi karena isinya. Aku adalah seorang kolektor boneka antik, dan rumah itu dijual bersama seluruh koleksi pemilik sebelumnya, seorang wanita tua yang tidak punya ahli waris.
Awalnya aku hanya berencana mengambil boneka-bonekanya, tapi begitu aku masuk, aku tidak bisa menolak. Ada sesuatu yang menarik di rumah ini. Setiap sudut terasa memiliki cerita, setiap ruangan terasa seperti sebuah panggung yang menunggu pertunjukan dimulai. Semua boneka terpajang rapi di lemari kaca di ruang tamu, di ruang kerja, bahkan di kamar tidur. Boneka porselen, boneka kain, boneka kayu, semuanya unik dan penuh karakter. Aku merasa seperti Alice di Negeri Ajaib, dikelilingi oleh tatapan mata yang tak terhitung jumlahnya. Mereka tampak menyambutku, seolah-olah aku pulang ke tempat seharusnya.
Di antara semua koleksi itu, ada satu boneka yang langsung menarik perhatianku. Boneka porselen setinggi satu meter, mengenakan gaun putih berenda yang sudah menguning dan terlihat lusuh. Ia tidak terlihat istimewa, tapi matanya. Matanya terbuat dari kaca biru, terlihat begitu hidup. Ke mana pun aku melangkah, mata itu seolah mengikutiku. Aku menamainya Clara, diambil dari nama karakter dalam dongeng kesukaanku. Clara diletakkan di tengah kamar koleksi pribadiku, di lantai dua, menjadi pusat dari duniaku.
Sejak Clara datang, segalanya berubah. Awalnya, perubahan itu halus, hampir tidak terlihat. Aku mulai mendengar suara-suara aneh. Suara langkah kaki samar di lantai atas, meski aku yakin tidak ada orang lain di rumah ini. Suara bisikan yang terdengar dari sela-sela boneka, seolah mereka sedang bergosip. Aku mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya imajinasiku yang terlalu liar, efek dari terlalu sering menghabiskan waktu sendirian.
Baca juga: Lirik dan Makna Lagu Senja - Rich Brian Terjemahan Indonesia
Namun, keanehan itu semakin menjadi. Setiap kali aku meninggalkan kamar koleksi, aku akan menguncinya. Tapi, suatu pagi, saat aku kembali, aku menemukan Clara tidak berada di tempat semula. Ia bergeser sedikit ke kanan. Aku yakin aku tidak salah. Aku meletakkannya kembali, dan mengunci pintu lagi. Kejadian ini terulang. Boneka itu seperti punya kaki sendiri, bergerak saat aku tidak ada. Aku mulai merasa tidak nyaman. Jantungku berdebar setiap kali aku menaiki tangga menuju kamar koleksi. Ada rasa takut yang samar, tapi juga rasa penasaran yang kuat.
Aku memasang kamera tersembunyi di sudut ruangan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu, aku duduk di ruang tamu, memantau rekaman. Layar menunjukkan Clara di tempatnya, tidak bergerak. Lalu, aku melihat sesuatu. Sebuah bayangan hitam melintas di depan kamera. Sosok itu mengenakan gaun putih, rambut panjang terurai. Jantungku berdegup kencang. Itu bayangan seorang wanita. Ia berjongkok di depan Clara, menggeser boneka itu perlahan. Tapi saat aku melihatnya dengan saksama, aku menyadari wanita itu. Wanita itu adalah aku.
Aku menjerit. Aku langsung lari ke kamar koleksi. Pintu masih terkunci. Aku membukanya. Kamar itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Aku memeriksa rekaman lagi. Tidak ada bayangan. Rekaman itu menunjukkan Clara bergeser, tapi tidak ada sosok yang melintas. Aku mulai panik. Apakah aku berhalusinasi? Apakah aku gila?
Aku tidak bisa tidur. Setiap malam, aku mendengar suara-suara. Suara-suara itu semakin jelas, bukan lagi bisikan, tapi seperti tangisan. Tangisan seorang wanita yang pilu. Tangisan itu datang dari kamar koleksi. Aku mulai takut. Aku tidak berani masuk ke kamar koleksi. Aku tidur di sofa di ruang tamu. Suatu malam, tangisan itu menjadi jeritan yang menusuk. Aku menutup telingaku, tapi suara itu tidak berhenti. Aku melihat ke arah kamar koleksi dari tangga. Pintu itu terbuka sedikit.
Aku memberanikan diri. Aku naik ke lantai dua. Aku berdiri di depan pintu kamar koleksi. Jantungku berdebar kencang. Aku melihat ke dalam. Clara masih di sana, berdiri di tengah ruangan. Tapi matanya. Matanya tidak lagi biru. Matanya merah, berdarah, seolah-olah ia baru saja menangis. Aku berteriak. Aku jatuh ke belakang. Aku merangkak kembali ke tangga. Aku turun, aku lari ke dapur. Aku mengambil pisau. Aku harus mengakhiri ini. Aku harus menghancurkan boneka itu.
Aku kembali ke kamar koleksi. Aku tidak tahu dari mana aku mendapatkan keberanian ini. Aku berdiri di depan Clara. Matanya yang merah menatapku, seolah menantang. Aku mengangkat pisau. Aku menusuknya. Porselen retak. Ada suara aneh dari dalam boneka. Bukan lagi tangisan, tapi seperti suara mesin yang berputar. Aku menusuknya lagi. Porselen pecah, dan dari dalam boneka itu, ada sebuah benda kecil yang jatuh.
Aku mengambilnya. Itu sebuah kamera. Bukan kamera tersembunyi yang kupasang. Kamera ini berbeda. Kamera ini memiliki sebuah lubang kecil di bagian depannya, seolah-olah mata boneka itu adalah lensanya. Aku melihat ke dalam. Ada sebuah kartu memori. Aku mengambilnya. Aku berlari ke ruang kerja, menyalakan komputer, memasukkan kartu memori.
Ada rekaman. Ribuan rekaman. Semuanya menunjukkan diriku. Rekaman-rekaman itu menunjukkan aku melakukan hal-hal yang tidak kuingat. Aku berbicara sendiri. Aku menangis. Aku menjerit. Aku berjalan sambil tidur. Aku menggeser boneka-boneka. Aku yang menyebabkan semua itu.
Aku bukan seorang kolektor boneka antik. Aku adalah seorang pasien dari rumah sakit jiwa. Clara, boneka itu, adalah hadiah ulang tahun dari orang tuaku. Mereka membelikannya untukku saat aku baru saja keluar dari rumah sakit. Mereka ingin aku sembuh, mereka ingin aku merasa seperti kembali ke dunia nyata. Tapi aku tidak bisa. Aku terus berhalusinasi. Aku terus melakukan hal-hal aneh.
Aku melihat ke dalam cermin yang ada di ruang kerja. Ada seorang wanita di sana. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, matanya merah. Itu bukan aku. Itu orang lain. Dia tersenyum. Senyumnya mengerikan, seolah-olah ia menikmati semua kekacauan ini. Aku tahu dia sudah ada sejak lama. Dia adalah bayanganku. Dia adalah sisi gelapku yang terperangkap dalam diriku. Dan dia yang mengendalikan semuanya.